Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat
Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang
ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api
yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian,
yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran
kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang
digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api
abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin
upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang
artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal
kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka.
PELAKSANAAN UPACARA NGABEN
Ngaben merupakan upacara yang besar dan tentunya itu memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Bagaimanakah bagi mereka yang kurang mampu? Agama
Hindu fleksibel dan tentunya ada kebijakan-kebijakan mengenai kondisi
demikian. Biasanya diadakannya ngaben massal yang tentu dari segi biaya
akan lebih mengurangi. Dan dari beberapa penelusuran terhadap berbagai
lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis
ngaben yang justru sangat sederhana. Ngaben-ngaben jenis ini antara lain
Mitrayadnya, Pranawa dan Swasta. Namun demikian, terdapat juga berbagai
jenis upacara yang tergolong besar, seperti sawa prateka dan sawa
wedhana. Berikut Jenis – jenis Ngaben Sederhana :
1. Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa
ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara,
dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan. Namun diluar
itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam naskah
lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang
dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan
ini. Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi
sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis
dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu
diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben.
Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa
(jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi
penghuluning Setra (Dewi Durga).
2. Ngaben Mitra Yajna
Ngaben Mitra Yajna Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya
leluhur, yajna berarti korban suci. Istilah ini dipakai untuk
menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama Purwana Tattwa,
karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap
lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam
warah-warah itu tidak disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan
dengan jenis ngaben sedehana lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra
Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran mayat ditetapkan menurut
ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai upakara dan
dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari
baik).
3. Pranawa Pranawa
Pranawa Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben
yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat
yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara
Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan
sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan
tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya
diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru
meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben
amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
4. Pranawa Bhuanakosa
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu.
Dimana Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun
pernah ditanam, disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan
Bhuanakosa Prana Wa.
5. Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang
sawanya (mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat,
meninggal didaerah kejauhan, lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya
dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta. Walaupun orang hina, biasa,
dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan dengan
Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai
daging, balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan
(jerami) sebagai pikiran, Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga
hidup. Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang
meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara
pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di
pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan
di Jaba Pura Dalem.
Secara umum rangkaian pelaksanaan ritual upacara adat ngaben ini sebagai berikut :
- Ngulapin, Ngulapin bermakna sebagai upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dilaksanakan berbeda sesuai dengan tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
- Nyiramin/Ngemandusin, Merupakan upacara memandikan dan membersihkan jenazah, upacara ini biasa dilakukan dihalaman rumah keluarga yangbersangkutan (natah). Pada prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
- Ngajum Kajang, Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
- Ngaskara, Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
- Mameras, Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
- Papegatan, Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
- Pakiriman Ngutang, Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
- Ngeseng, Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
- Nganyud, Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
- Makelud, Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan
0 komentar :